Tuxlin Seorang blogger yang gemar mengikuti perkembangan teknologi dan gadget, reviewer amatir, dan suka traveling.Pertanyaan? Silakan Komen. Kontak saya melalui Twitter dengan ID: @dityatuxlin atau email: dityatuxlin@gmail.com.

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten

5 min read

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 1

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten – Halo Pembaca! Minggu lalu Tuxlin Blog berkesempatan mengunjungi sebuah desa yang unik yang berlokasi bagian paling ujung Kabupaten Klaten, yakni Dukuh Butuh, Desa Wisata Wayang Sidowarno yang berlokasi di Kecamatan Wonosari. Berdasarkan informasi yang Tuxlin himpun, Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten ini merupakan salah satu desa yang menjadi bagian dari program Kampung Berseri Astra (KBA).

Tuxlin menuju lokasi Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten menggunakan sepeda motor. Butuh waktu sekitar 45 menit dari Boyolali menuju desa ini. Sampai di lokasi, ternyata teman-teman dari komunitas Penakita, wartawan, dan juga blogger telah sampai lebih dulu. Oiya, ini adalah bagian dari acara Roadshow yang digelar oleh Astra International di Solo.

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 2
Seorang pengrajin wayang sedang melakukan proses ndrendemi (Dok. Pribadi)

Apa Saja yang ada di Desa Wisata Wayang Sidowarno?

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 3
Dok. Pribadi

Setelah memarkir sepeda motor, Tuxlin langsung ke lokasi acara atau titik kumpul yang berupa bangunan joglo bernama Omah Wayang. Area samping bangunan ini terdapat pemakaman dengan pagar yang dihiasi lukisan atau grafiti. Sementara di atas pagar tersebut terdapat lima tokoh wayang, yakni Pandawa yang terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.

Acara dibuka dengan sambutan dari Bapak Sunardi Baron selaku Ketua Pilar Wirausaha Desa Sidowarno yang memberikan penjelasan singkat mengenai Desa Wisata Wayang Sidowarno, mulai dari sejarah, perkembangan desa, dan berbagai penghargaan yang telah diterima. Pak Baron mengungkapkan bahwa dukungan Astra dalam program KBA telah mengakselerasi kemajuan desa melalui empat pilar utama, yakni pendidikan, kesehatan, pengembangan wirausaha, dan menjaga kebersihan lingkungan.

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 4
Bapak Suraji, tour guide. (Dok. Pribadi)

Setelah itu, kami dibagi tiga kelompok untuk berkeliling desa. Setiap kelompok akan dipandu oleh seorang tour guide, yakni Pak Suraji. Kebetulan Tuxlin Blog berada dikelompok dua dan kami mulai mengeksplorasi Desa Wisata Wayang Sidowarno ini. Suasana desa ini begitu asri, tenang, dan menyenangkan. Kehidupan masyarakat di sini masih guyup dan menjunjung tinggi asas gotong royong.

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 5
Pengunjung sedang belajar jemparingan (Dok. Pribadi)

Salah satu kegiatan yang menyenangkan saat ekslorasi desa wisata ini adalah mencoba olaharga jemparingan atau panahan tradisional khas Jawa. Jemparing sendiri artinya adalah anak panah. Tuxlin sempat mencoba Jemparingan ini dengan mengangkat busur dan memasang anak panah. Satu dari dua anak panah yang Tuxlin lepaskan berhasil mengenai sasaran. Lumayan, ya.

Pak Suraji menjelaskan bahwa ratusan warga Desa Wisata Wayang Sidowarno tepatnya di Dukuh Butuh ini hidup dari kerajinan dan seni. Paling terkenal adalah seni kerajinan pembuatan wayang dan di desa ini terdapat sekitar 70-an pengrajin.

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 6
Desa Sidowarno (Dok. Pribadi)

Selain wayang, desa ini juga menghasilkan kerajinan kaligrafi dari kulit kambing yang memiliki nilai seni dan ekonomi tinggi. Selain itu, juga terdapat usaha payet yang merupakan hiasan yang dijahit di baju pengantin Jawa dan juga produksi jamu tradisional.

Kerajinan Wayang dari Kulit Kerbau

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 7
Wayang sebagai hiasan dinding (Dok. Pribadi)

Sesuai dengan namanya, Desa Wisata Wayang Sidowarno, kerajinan wayang menjadi hal yang paling menarik dari desa ini. Tour guide mengantarkan kami ke salah satu rumah warga yang juga pengrajin wayang. Rumah pertama yang kami kunjungi adalah Bapak Hasan Sadi yang melakukan proses pengerokan kulit kerbau sebagai bahan baku wayang.

Pak Hasan Sadi menjelaskan bahwa kulit kerbau ini dipasok dari berbagai daerah di Indonesia, seperti NTB, Pantura, dan sebagainya. Beliau juga menjelaskan bahwa wayang di desa ini menggunakan kulit kerbau karena lebih kuat dan tidak mudah melengkung jika dibandingkan dengan kulit sapi.

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 8
Proses pengerokan (Dok. Pribadi)

Proses awal pengilahan bahan baku kulit kerbau di rumah Bapak Hasan Sadi ini adalah perendaman dan kemudian dilanjutkan pengerokan. Kulit kerbau ini dipasang pada rangkaian bambu kemudian dilakukan proses pengerikan untuk menghilangkan bulu dan membuat kulit lebih halus.

Ampas pengerokan kulit yang pertama dapat dijadikan pupuk. Sedangkan hasil kerokan kedua yang berwarna putih tidak langsung dibuang karena masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan, yakni diolah menjadi lauk atau kerupuk kulit.

Setelah proses pengerokan selesai, kulit kerbau tadi dipotong dan digambar pola sesuai karakter yang akan dibuat. Bahan kulit yang siap dibentuk ini akan diserahkan ke pengrajin untuk dilakukan proses selanjutnya.

Setelah dari rumah Pak Hasan Sadi, Tuxlin bersama rombongan kelompok 2 melanjutkan perjalanan menuju rumah Pak Sunardi Baron untuk melihat proses pembuatan wayang lebih lanjut. Lokasi rumah Pak Baron ini tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu 10 menit jalan kaki dari rumah Pak Hasan.

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 9
Pak Narto bersama rekan pengrajin wayang. (Dok. Pribadi)

Sampai di rumah Pak Sunardi Baron, kami langsung disuguhi pemandangan para pengrajin yang sedang bekerja dengan tekun, teliti, dan ulet. Proses berikutnya disebut dengan tatah sungging atau pengukiran dan pewarnaan bahan kulit yang sudah diolah tadi menjadi wayang.

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 10
Proses penatahan/pengukiran (Dok. Pribadi)

Proses penatahan atau pengukiran ini menggunakan alat khusus yang dipukul menggunakan palu berbahan kayu. Proses penatahan ini membutuhkan ketelitian tinggi karena wayang yang dibuat memang menampilkan tingkat detail yang tinggi dan rumit.

Setelah proses penatahan atau pengukiran selesai, dilanjutkan dengan proses pewarnaan atau penyunggingan dengan cat khusus. Proses ini tak kalah rumit dengan penatahan karena membutuhkan ketelitian tinggi untuk memberikan warna pada setiap detail wayang yang ukurannya cukup kecil dan rumit.

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 11
Proses pewarnaan (Dok. Pribadi)

Ada juga wayang yang dicat menggunakan emas asli yang melalui metode proses tertentu. Biasanya wayang yang menggunakan cat emas ini digunakan sebagai hiasan. Tidak semua wayang yang dibuat di sini menggunakan cat emas asli karena itu tergantung pada sang pemesan.

Langkah terakhir dari pembuatan wayang adalah memberikan garis tegas untuk memberikan detail dan penegasan pada karakter wayang. Pemberian garis berwarna hitam ini juga disebut dengan istilah ndrendemi.

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 12
Proses ndrendemi (Dok. Pribadi)

Wayang yang akan dijadikan sebagai hiasan dinding nantinya akan dipadukan dengan aksesoris seperti kulit kambing sebagai latar. Sedangkan wayang yang akan digunakan untuk pentas seni akan dipasangi pegangan yang terbuat dari kayu atau bambu.

Pembuatan wayang memang cukup rumit dan membutuhkan ketelitian tinggi. Selain itu, bahan bakunya pun cukup mahal. Lantas berapa harga wayang hasil produksi Desa Sidowarno ini?

“Harga satu wayang kisaran Rp 750 ribu dan ada juga yang sampai Rp 5 juta. Kalau satu set wayang harganya bisa sampai Rp 200 juta. Jika menggunakan cat lapisan emas, harganya bisa sampai Rp 1 miliar,” kata Pak Sunardi Baron.

Hiasan Kaligrafi dengan Kulit Kambing

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 13
Hiasan kaligrafi dengan kulit kambing (Dok. Pribadi)

Perjalanan siang itu dilanjutkan ke rumah Pak Rosyid. Beliau adalah salah satu pengrajin hiasan dinding dan kaligrafi yang menggunakan kulit kambing. Sebelum menggeluti kerajinan kaligrafi ini, Pak Rosyid mengaku bekerja sebagai pemahat wayang. Beliau beralih ke hiasan kaligrafi ini karena penjualannya lebih cepat dari wayang.

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 14
Proses pengerokan kulit kambing (Dok. Pribadi)

Proses pembuatan hiasan kaligrafi menggunakan kulut kambing ini menurut Pak Rosyid tak jauh berbeda dengan pembuatan wayang. Hanya saja, ini tidak memerlukan ukiran dan tingkat kerumitannya tidak terlalu tinggi.

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 15
Proses pelepasan kulit kambing (Dok. Pribadi)

Kulit kambing yang akan digunakan harus dihilangkan daging dan lemak, kemudian dijemur. Setelah itu dilakukan pengerokan pada bagian yang akan dicetak kaligrafi. Sedangkan untuk proses percetakan kaligrafi sendiri ada dua metode, yakni menggunakan sablon dan tulis secara manual.

Hiasan dinding berbahan kulit kambing ini peminatnya cukup tinggi. Pak Rosyid dan rekan-rekannya sering kewalahan mengerjakan pesanan. Pembeli karyanya banyak dari luar daerah dan bahkan dari luar negeri.

Seni Payet

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 16
Bapak Sumardi, pemilik usaha Sumardi Payet

Hari semakin siang dan matahari kian terik, Tuxlin Blog melanjutkan eksplorasi Desa Wisata Wayang Sidowarno. Kali ini Pak Suraji memandu kami ke rumah Pak Sumardi yang memiliki usaha Payet dengan nama Sumardi Payet.

Saat Tuxlin bersama rekan-rekan disambut oleh Pak Sumardi, terlihat tiga orang ibu-ibu sedang asyik menjahit payet. Apa sih sebenarnya payet itu? Payet adalah hiasan berkilap, berbentuk bulat kecil yang dilekatkan pada baju, sepatu, topi, dan sebagainya. Payet di Sumardi Payet ini biasanya diaplikasikan di baju pernikahan adat Jawa.

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 19

Pak Sumardi dengan bangga bercerita bahwa putra Presiden RI Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Selvi Ananda menggunakan busana dengan payet buatannya. Sedangkan untuk pemasaran, Pak Sumardi bekerja sama dengan WO (Wedding Organizer) dan banyak pesanan yang muncul dari hasil kolaborasi ini.

Depot Jamu

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 20
Dok. Pribadi

Cuaca panas yang Tuxlin rasakan siang itu seperti mendapat oase ketika kami mampir di rumah Ibu Sutarni. Beliau adalah ibu perkasa yang sehari-hari berjualan jamu tradisonal dan berkeliling di daerah sekitar.

Saat ditanya oleh Bu Sutarni, Tuxlin langsung meminta jamu yang cocok untuk menghilangkan capek. Jujur saja, dua hari ini Tuxlin memang sedang banyak kegiatan dan butuh doping seperti jamu tradisional buatan Bu Sutarni ini.

Seni yang Menghidupi

Tak terasa dua jam lebih Tuxlin dan rombongan berkeliling dan belajar banyak dari Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten ini. Kami kembali ke titik kumpul untuk beristirahat dan makan siang.

Saat istrirahat, pikiran Tuxlin melayang. Memahami seni dan kehidupan warga desa wisata ini. Saat banyak warga desa lain yang warganya bergelut dengan pertanian atau merantau ke kota, warga desa ini bergelut dengan kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi. Saat banyak orang meninggalkan seni tradisonal warisan leluhur, warga desa ini justru hidup dari seni tersebut.

Kerajinan pembuatan wayang, kaligrafi, depot jamu, dan program desa wisata di Sidowarno ini telah menyerap banyak tenaga kerja. Dukungan dari berbagai pihak seperti Astra International melalui program Kampung Berseri Astra (KBA) turut memecahkan masalah sosial dan melestarikan warisan seni wayang kulit untuk mencegahnya dari kepunahan.

Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten 21
Pak Narto, Penatah Wayang (Dok. Pribadi)

“Sejak kecil saya belajar dari penatah wayang dan sudah mahir ketika SMP. Hasilnya cukup. Saya bisa menyekolahkan dua anak dan membangun rumah,” kata Pak Narto, salah satu penatah wayang di Rumah Pak Sunardi Baron.

Kisah dan pengakuan serupa juga muncul dari bapak-bapak pejuang keluarga yang menggeluti kerajinan wayang di desa ini. Seni wayang yang mulai tergerus oleh zaman masih mampu memberi penghidupan yang layak bagi mereka yang berusaha melestarikannya. Desa Wisata Wayang Sidowarno Klaten adalah buktinya.

Tuxlin Seorang blogger yang gemar mengikuti perkembangan teknologi dan gadget, reviewer amatir, dan suka traveling.Pertanyaan? Silakan Komen. Kontak saya melalui Twitter dengan ID: @dityatuxlin atau email: dityatuxlin@gmail.com.

2 Replies to “Warisan Seni yang Menghidupi di Desa Wisata Wayang Sidowarno…”

  1. Waah mas tuxlin, dah lamaaaa ga main kesini. Aku seneng pas tahu blognya masih aktif 👍👍👍.

    Menariiiik ceritanya mas. Klaten ini ga jauh dari kampung suami di solo, tp selama ini aku cuma lewat doang tiap mau ke Jogja. Ga pernah stay di Klaten nya.

    Jadi tahu kalo di sana ada desa pembuat wayang yaa. Pengeeen banget liat langsung pembuatannya. Pasti rumiit. Setelah aku liat detilnya aja kecil2 begitu, ga kebayang cara mereka mewarnai dengan rapi. Wajar sih kalo mahal.

    Yg kaligrafi dan Payet juga baguuus 😍😍😍. Payet seperti di baju tradisional Jawa itu ga mudah buatnya. Apalagi maniknya kecil2 🤣😅. Mataku yg minus parah makin tersiksa buatnya

    1. Halo Mbak Fanny! Aku masih aktif, kok. Cuma sangat jarang blogwalking. Abis ini mencoba mulai blogwalking deh hehehe

      Aku yang tinggal di Boyolali aja juga baru tahu ada desa wisata wayang ini hihihihi
      Setelah lihat prosesnya, ternyata sangat rumit dan butuh ketelitian tingkat tinggi, pantesan mahal ya harganya 😅

      Sama mbak, pas di nyoba praktik payet ini, mata minusku meronta-ronta hahaha. Memang luar biasa ya orang2 yang bergelut di bidang ini 👍🏼

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *